Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) siap memediasi polemik antara Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan kalangan media massa, termasuk di dalamnya dua stasiun televisi.

"KPI siap memfasilitasi bila kedua pihak, pemerintah dan media, mau bertemu dan bermusyawarah," kata Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Idy Muzayyad di Jakarta, Rabu.

Dikatakannya, polemik tersebut sebaiknya tidak terus dikembangkan, apalagi pihak media sudah menyampaikan somasi kepada Dipo Alam.

Menurut Idy, bila polemik itu terus dikembangkan dan sampai berujung pada perseteruan, maka akan kontraproduktif bahkan menjadi catatan kurang baik dalam perjalanan demokrasi di era reformasi.

Idy mengkhawatirkan polemik itu juga akan mengganggu kinerja kedua pihak, misalnya pemerintah jadi bersikap kikuk dengan harus pilih-pilih dalam melayani media, sementara media merasa tersandera atau bahkan terancam pada saat mencari dan menyiarkan berita yang menyangkut pemerintah.

Idy menyarankan bila ada pihak yang keberatan dan merasa dirugikan dengan tayangan dan isi media tertentu, maka sebaiknya menempuh jalur yang  proporsional.

"Pengaduan melalui KPI bisa ditempuh, agar nanti bisa diambil langkah-langkah yang proporsional," katanya.

Dikatakan Idy, pernyataan Dipo Alam mendapatkan resistensi dari kalangan media dan publik karena ada rasa traumatik yang mendalam tentang pengalaman masa lalu, yakni perilaku pemerintah Orde Baru yang membungkam kebebasan pers.

Namun di sisi lain, Idy juga mengingatkan bahwa kebebasan pers memang harus dibarengi dengan tanggung jawab yang tinggi, terutama dalam kerangka memperjuangkan kepentingan publik.

"Jadi, kalau pernyataan itu muncul pada saat ini, itu seolah membuka luka lama hegemoni terhadap pers yang terjadi di masa lalu," katanya.

Pada masa reformasi, katanya, regulasi terhadap media tidak bisa lagi sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah, tetapi oleh lembaga yang merepresentasikan publik.

"Di sinilah KPI dan juga Dewan Pers dapat mengambil peran," katanya.

Sebelumnya, Dipo Alam meminta seluruh sekjen kementerian agar memboikot pemasangan iklan di tiga media massa, yang dinilainya sering "menyerang" pemerintah. Bahkan, staf kepresidenan pun dimintanya untuk tidak melayani undangan dari ketiga media dimaksud untuk menjadi narasumber. *